Sabtu, 11 Oktober 2008

Dinamika Pasar, Krisis, Keputusan BI Menaikkan Suku Bunga

Ketika bank-bank sentral dunia bersama-sama menurunkan tingkat suku bunga, BI malah menaikkan suku bunga. Mengapa?

Mungkin BI punya 3 tujuan:

* Mempertahankan rupiah,
* Memberikan sinyal ke pelaku pasar bahwa kondisi Indonesia tidak seperti kondisi negara2 lain yang terimbas krisis keuangan, krisis kredit dan krisis kepercayaan sehingga Indonesia tidak perlu ikut menurunkan suku bunga,
* Mengurangi laju inflasi.. (penjelasan standar)

Dalam kondisi normal, Bank Sentral menggunakan instrumen suku bunga untuk menstabilkan harga (menahan laju inflasi). Menaikkan suku bunga secara tidak langsung akan mengurangi jumlah uang yang beredar di pasar melalui dua mekanisme: memberikan insentif kepada orang untuk menabung dan mengurangi permintaan orang untuk mengambil kredit. Karena jumlah uang yang beredar berkurang, otomatis “nilai uang” bertambah sehingga “nilai barang” secara relatif menurun, dan harga barang2 pun menurun… sehingga laju inflasi bisa ditahan. Demikian juga sebaliknya dengan penurunan suku bunga.

Kira2 teori ekonominya seperti itu..
Tapi pasar finansial jauuuh lebih kompleks dari itu.. Indonesia tidak berdiri sendiri. Indonesia tidak menutup laju keluar masuknya modal dari dan ke luar negeri. Oleh karena itu, Indonesia merupakan satu titik dari jejaring pasar kapitalisme global.

Bisa juga dibayangkan bahwa jejaring kapitalisme ini terdiri dari titik2, di mana tiap titik merupakan investor (bukan negara). Jaring-jaring terhubung antar titik melalui interaksi antar investor. Interaksi ini bisa dalam beberapa bentuk.

Salah satu bentuk interaksi yang berpengaruh adalah interaksi kredit di mana satu investor meminjamkan modal kepada investor lain. Dari interaksi ini terbentuklah “jaringan kredit”. Bayangkanlah modal ini sebagai darah kapitalisme. Memberikan kredit sama dengan memberikan darah kapitalisme.

Interaksi lain yang cukup penting adalah interaksi melalui “cross-holding”, di mana jaring2 terbentuk dari kesamaan aset yang dipegang. Dari interaksi ini terbentuklah “jaringan kepemilikan aset”.

Ada bentuk jaringan lain yang menghubungkan aset, bukan menghubungkan investor, yaitu kesamaan faktor yang mempengaruhi sumber pendapatan suatu aset tersebut. Misalnya, sumber pendapatan bank kira2 bakal sama dengan bank2 lainnya. Demikian juga sumber pendapatan penjual kelontong kira2 bakal sama dengan penjual kelontong tetangganya. Sebut saja “jaringan ekonomi”.

Jaringan2 baru akan terus muncul, diciptakan, dan dibuang sesuai dengan adaptasi kebudayaan manusia.. Mana yang terbukti menguntungkan bertahan hidup, yang lain, dibuang.. Misalnya, munculnya jaringan melalui produk2 derivatif membuat jejaring kapitalisme semakin kompleks.

Dalam jejaring kapitalisme ini, hanya ada satu hukum yang saya yakin selalu benar: setiap investor (agents) bertindak untuk kepentingannya sendiri. Semua agents ingin survive and prosper dalam jejaring ini.

Bila kita melihat pasar sebagai jejaring kapitalisme, mungkin kita akan lebih bisa memahami dinamika pasar dengan pikiran lebih terbuka. Satu hal yang sangat penting dari cara pandang ini adalah melihat pasar sebagai suatu sistem kompleks yang adaptive (http://www.trojanmice.com/articles/complexadaptivesystems.htm). Banyak properti dari sistem seperti ini yang menarik untuk dipelajari.. Misalnya, tidak ada individu/institusi yang bisa mengatur2 bagaimana seharusnya pasar berlaku. Bahkan The Fed (Bank Sentral AS) ataupun investor terbesar di dunia tidak akan bisa mendikte bagaimana pasar akan bertindak.. Semua yang kita lihat di permukaan (misalnya turun2nya harga2) adalah hasil dari interaksi jutaan agents yang bertindak untuk kepentingannya sendiri2.. It is a bottom up system.. no central authority.

Dalam kondisi normal, jejaring kapitalisme ini sangatlah efisien dalam banyak hal. Ia efisien dalam memproses semua informasi yang relevan dengan sangat cepat dan akurat (misalnya betting markets). Ia juga sangat efisien dalam mengalokasikan modal ke titik2 yang bisa menggunakan modal dengan baik.. dari sinilah kita bisa melihat kembali “the invisible hand” a la Adam Smith..

Sistem ini juga secara natural akan menghasilkan “emergent behavior”. Market boom.. crash.. adalah properti intrinsik dari sistem ini. Tidak bisa lari. We should expect it to come.. time and again.. It is just natural. Bayangkan sebuah virus yang menyerang populasi sebuah binatang. Ekosistem binatang merupakan suatu sistem kompleks yang adaptive, sama seperti pasar. Karena “jaringan kedekatan geografris”, virus akan cepat menyebar sampai tinggal binatang yang bisa beradaptasi dengan si virus saja yang akan hidup, dan akan sejahtera dan berkembang lagi.. demikian seterusnya..

So, apa yang terjadi di jejaring kapitalisme global sekarang? Ingat “jaringan kredit” tadi? Alkisah, ada sekelompok agents (dalam hal ini bank2, hedge funds, dll) yang secara efektif meminjamkan modal kepada sekelompok agents lain yang disinyalir kemampuan kreditnya diragukan dalam bentuk subprime mortgage (semacam KPR). Rumah2 yang dibeli dijadikan agunan. Kemudian hari, pengambil kredit ini tidak bisa mengembalikan hutangnya (http://ihedge.wordpress.com/category/krisis/). Nilai dari aset2 yang didasari oleh pinjaman2 ini pun turun.. Dalam “jaringan kredit” ini, beberapa agents yang meminjamkan modal juga meminjam dari pihak lain.. Maka mulailah efek jaringan (efek domino) ini melanda.. Gagal bayar di salah satu agents menjadi gagal bayar agents lainnya juga. Agents2 lain yang tidak ada hubungan langsung dengan pinjaman subprime mortgage ini juga mendapatkan sinyal dari pasar bahwa kesehatan beberapa agents2 lain cukup lemah.

Ketika kondisi ini mencapai suatu level kritis, fenomena menarik terjadi (emergent behavior). Mereka yang biasanya memberi supply darah kapitalisme (”kredit”), dalam semangat menyelamatkan diri sendiri, memutuskan untuk tidak lagi memberi supply darah ke agent lain karena kawatir darahnya tidak akan berputar balik.. Maka terjadilah fenomena “credit squeeze”, jaringan2 kredit menjadi terputus.. Bayangkan suatu organisme di mana organ2nya tidak mendapat supply darah. Organ2 itu akan melemah, dan mungkin mati.

Di sisi lain, agents2 yang bermasalah ini juga merupakan titik2 penting dalam ”jaringan kepemilikan aset”. Ketika mereka harus mendapatkan modal untuk membiayai operasionalnya (darah untuk hidup), mereka terpaksa menjual aset2 yang mereka miliki untuk mendapat modal baru.. Ketika mereka menjual aset2 ini karena tidak ada pilihan lain, mereka akan menjual dengan berapapun harganya.. Maka turunlah harga-harga.. Tidak pandang bulu apakah aset2 itu ada hubungannya dengan subprime mortga atau tidak… Mereka menjual aset yang mereka miliki.. Melalui penurunan harga2, agent2 dalam jejaring ini mendapat sinyal dari pasar bahwa ada agents2 lain yang bermasalah.

Ketika penurunan harga2 aset2 ini mencapai suatu level kritis, fenomena lainnya terjadi.. Mereka yang memiliki aset2 menjadi tahu bahwa harga2 akan turun karena ada agent2 bermasalah yang harus menjual aset2nya. Agent2 mendapat masalah dan harus menjual asetnya karena: (a) harus membayar hutang ke kreditor2 mereka, (b) mendapatkan “margin call” dari broker mereka, atau (c) mendapatkan penarikan dana dari investor2 lain yang menanamkan modal kepadanya.. Akhirnya, behavior dari agent2 dalam jaringan “kepemilikan aset” ini tersinkronisasi. Sebagian besar tidak ingin membeli, karena tahu harga akan turun lebih dalam lagi… Harga benar2 turun, dan agent2 yang tadinya tidak bermasalah pun menjadi ikut2an bermasalah dan harus menjual asetnya.. dengan harga yang lebih murah lagi.. Terjadilah vicious cycle…

Ada satu hal lagi.. Dalam “jejaring kredit” tadi, tidak semua agents memutar uangnya dalam pasar modal. Sebagian, memutarnya dalam pasar real.. Ketika “jejaring kredit” terputus.. credit squeeze.. mereka tidak memiliki darah untuk memutar usahanya.. Masalah pun merambat ke pasar real: pasar barang dan jasa, dimulai dari sendi ekonomi di mana perusahaan2 yg terkena credit squeeze berada. Ketika suatu sendi ekonomi terpengaruh, maka ”jaringan ekonomi” pun akan terimbas. Masalah akan menjadi parah ketika sendi yang terkena adalah sendi perbankan. Kenapa? Karena sendi ini paling banyak jaringannya ke sendi2 lainnya. Sebagian dari jaring2 itu pasti akan terputus. Dan resesi ekonomi tak elak akan datang….

Balik lagi ke kasus Indonesia. Dari segi pasar modal, jelas jaringan2 titik Indonesia ke jejaring kapitalisme global cukup besar, terutama dari segi ”jaringan kepemilikan aset”. Banyak investor asing yang menanamkan modalnya di pasar modal Indonesia. Tak heran, ketika pasar global jatuh, Jakarta juga ikut turun, dan turun dengan drastis juga. Sebagian investor2 asing itu tak punya pilihan lain selain menjual asetnya di Jakarta. Sebagian lagi menjual karena tahu harga akan turun. Dari segi ”jaringan ekonomi”, Indonesia sepertinya tidak terlalu terhubung dengan pasar global, kecuali melalu sektor pertambangan. Dari segi “jaringan kredit”, Indonesia juga tidak terlalu terhubung. Beda dengan tahun 97an di mana banyak perusahaan Indonesia yang berhutang di luar negeri dalam bentuk dollar. Dari perspektif ini, saya cenderung percaya kalau Indonesia cukup lebih kokoh daripada tetangga2 kita ataupun banyak negara lain di dunia. Masalah pasar saham jatuh, itu hal yang natural.

Balik ke pertanyaan awal: kenapa BI menaikkan suku bunga ketika bank2 sentral lain menurunkan suku bunga? Yah, tanya sama dewan gubernur BI kali yah.. :D. Tapi menurut saya tindakan ini cukup rasional untuk saat ini. Dalam kondisi seperti sekarang, prioritas pertama adalah menjaga stabilitas rupiah. Kenapa? Karena rupiah cenderung melemah akhir2 ini, seiring dengan mata uang2 dunia lainnya. Kita tidak ingin, penurunan rupiah ini mencapai suatu level kritis di mana fenomena baru terjadi.. dan rupiah terjun bebas dengan akibta yang bisa mematikan beberapa sendi ekonomi Indonesia dan menghancurkan “jejaring ekonomi”. Untuk saat ini, lupakan dulu “pertumbuhan ekonomi”, yang penting jaga kestabilan “jejaring ekonomi” Indonesia.

Apa yang bisa dilakukan BI untuk menstabilkan rupiah? Paling tidak ada dua: (1) intervensi pasar modal dengan menjual dollar dan membeli rupiah dengan menggunakan devisa negara, atau (2) dengan menaikkan suku bunga.

Cara pertama adalah cara bunuh diri untuk kondisi seperti sekarang ini. Kenapa? Karena kekuatan pasar saat ini tidak akan mudah dilawan. Cadangan devisa Indonesia yang hanya sekitar beberapa miliar dollar AS bisa dibilang relatif kecil dalam takaran pasar uang. Selain itu, resiko dari strategi ini sangat besar karena senjata kita (cadangan devisa) akan semakin tumpul (semakin kecil) kalau dipakai. Ketika jumlah cadangan turun ke suatu level kritis di mana pasar tidak percaya metode ini akan berhasil, agents akan menyelamatkan diri sendiri, dan semakin melemahkah rupiah dalam proses itu. Rupiah akan jatuh, terjun bebas. Ingat jatuhnya poundsterling Inggris tahun 90an? Bank of England sepertinya lebih kokoh dari BI. Ia pun gagal mempertahankan mata uangnya. Ingat berapa miliar dolar yang dihabiskan Bank of Thailand untuk mempertahankan Thai Bath? Maka, jadikan devisa negara hanya sebagai “threat”, pakailah dengan sangat hati2.

Cara kedua lebih cantik. Apa yang terjadi ketika bank sentral suatu negara menaikkan suku bunga? Ada sekelompok investor/agents yang hidup dengan cara mencari tempat2 di jejaring ini yang memberikan bunga lebih tinggi. Agents2 ini, akan tertarik untuk menaruh modalnya ke negara tersebut sehingga menguatkan mata uang negara tersebut. Bila tindakan ini tidak bisa menarik agent2 seperti ini yang baru, paling tidak tindakan ini bisa mengurangi niat agent2 yang sudah di dalam untuk tidak pergi.

Dikutip dari [ihedge.wordpress.com]

Tidak ada komentar: